26 Februari 2009

I'M HOME

Dia terlonjak. Debar dadanya semakin keras. Sebentar lagi dia akan menjumpai kembali semua yang dulu di tinggalkannya. Kembali kepada kenyataan yang selama bertahun-tahun ini menemaninya. Kenyataan yang telah membentuk diri dan pikiran sampai bisa seperti ini. Kenyataan yang sangat akrab di memori batinnya. Itu semua sebentar lagi akan di temuinya. Dan dia yakin tidak akan banyak yang berubah dari semua itu. Sebab dalam pengalamananya selama ini perubahan hanya akan terjadi dalam waktu yang lama, bahkan sangat lama. Seakan perubahan baginya adalah hal yang langka. Itulah salah satu kenyataan yang hampir pasti menyambutnya.

Ia berjalan tergesa sepanjang jalan kecil itu. Didepan sana di sebuah kelokan terletak sebuah rumah yang telah membesarkanya dengan kehangatan kasih sayang. Sebuah rumah yang benar tiada yang berubah sedikitpun, juga keadaan disekelilingnya. Bahkan para tetangganya, mereka tetap sama seperti dahulu sewaktu di tinggalkanya. Tetap ramah, berkata dengan lembut seraya senyum mengembang di sudut bibirnya, lalu tertawa renyah menyambut kepulangannya. Sungguh mereka tetap sebagai orang-orang yang istiqomah sikap dan pembawaannya. Ia bersyukur untuk itu. Ternyata perubahan yang lama itu telah menjadi misteri kehidupan yang menjaga tradisi baik ini agar tidak luntur sebagaimana pun ia bisa menjaga beberapa tradisi buruk untuk terus tampil di panggung kehidupan. Menyeimbangkan bandul pendulum kehidupan agar tidak bergerak menyimpang dari kodratnya yang berpasang-pasangan.

Aduhai..kenyataan ini yang membuatnya rindu. Kerinduan yang mendorongnya untuk segera bisa menginjakan kakinya di desanya. Kerinduan untuk segera bisa mencium takzim tangan ibu bapaknya. Merasakan usapan lembut belaian tangan mereka mengusap kepala dan menepuk bangga pundaknya. Sekali lagi ia bersyukur. Kedua ibu bapaknya juga masih sama seperti dulu, masih kalem, telaten dan sabar juga rumah itu masih nyaman seperti sebelumnya. Ia merasa sangat nyaman setelah nenyak beristirahat beberapa saat di kamarnya yang sederhana. Saking nyamannya ia merasa bahwa ia tidak pernah kemana-mana selama ini. Ia terus di situ menikmati segenap anugerah kenyamanan yang terasa. Kenyamanan yang selama ini asing ia temui di beberapa kota tempat perantauannya.

Ia pun semakin yakin : seindah-indahnya negeri orang, lebih indah negeri sendiri. Senyaman-nyamannya kampung orang, lebih nyaman kampung sendiri. Meski tentu saja tak semuanya dapat disediakan dan diberikan oleh kampung atau negeri itu kepadanya.

(JEBRES-SOLO)

14 Februari 2009

ADA PERJUMPAAN PASTI ADA PERPISAHAN

Akhirnya perpisahan itu datang juga. Sebuah hukum kehidupan akan berlaku. Hari-hari sudah terlewati dengan tiada terasa. Kini minggu datang dan bulan berganti. Yach sudah hampir selesai satu petualangan dalam penggalan sejarah kehidupan pemuda itu. Menyongsong perpisahan ini menyungsup sedih dalam hatinya. Kesedihan untuk meninggalkan kenangan manis di sini. Disalah satu sudut waktu yang menyumbang sangat banyak kontribusi untuk mematangkan derajad kedewasaan dirinya.

"Tetapi tetaplah tersenyum, kenangan ini takkan meninggalkanmu meski (mungkin) engkau meninggalkanya" bisik nurani pemuda itu. Dan dia pun setuju. Kenangan itu akan menjadi "kekasih" yang teramat setia. Ia akan datang kapan saja begitu dia memanggilnya.

Ia pun menginsyafi, hukum kehidupan telah menggariskan dengan begitu terang bahwa bila ada perjumpaan pastilah akan ada perpisahan. Tiada seorang pun yang sanggup menentang garis takdir itu. Ia akan berlaku padanya suka ataupun tidak suka. Yang harus ia lakukan adalah mencoba mengikhlaskan dan menepis kesedihan dari hatinya. Betapa pun kesedihan itu teramat kuatnya.

Pemuda itu tersurut dari pergumulan suara batinnya. Ketika lamat-lamat ia teringat sebuah nasehat bijak : Janganlah kau berikan cintamu pada seseorang atau sesuatu dengan berlebih-lebihan karena suatu saat engkau pasti akan berpisah dengannya. Berikan saja cintamu itu dengan sewajarnya sehingga ketika kau berpisah dengannya engkau tidak merasa kecewa".

(KOLEJ BUKIT KACHI-SINTOK-KEDAH-MALAYSIA)

12 Februari 2009

CITA RASA ITU BERNAMA DEWASA

Dewasa, sebuah kata yang familiar ditelinga kita. Kata yang didalamnya mengandung makna yang tinggi, prestise dan sentimentil. Semua orang menginginkannya. Semua orang mendambakan dirinya disebut dengan kata itu. Tanpa kata itu, belum lengkaplah seorang dipandang dan memandang dirinya. Ia adalah nilai intrinsik seorang manusia yang bisa ada dimana-mana tetapi lagi-lagi tidak setiap orang dapat memilikinya.

Saya termasuk salah satu orang yang terusik dengan kata itu. Banyak bertanya, menyimak dan sedikit mencoba bagaimana sih sebenarnya citarasa yang bernama dewasa itu. Setelah beberapa waktu akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan : DEWASA itu ternyata GGS (gampang-gampang susah). Kenapa GGS?

Pertama sekali saya katakan saya bukanlah seorang yang memahami disiplin ilmu psikologi dengan baik. Sehingga kalau nanti salah dipandang dari kaca mata ilmu psikologi mohon untuk dimaafkan. Menurut saya - mungkin anda juga- dewasa tak selalu berbanding lurus dengan usia. Adakalanya usia tidak menyumbang kontribusi signifikan pada derajad kedewasaan seseorang. Pada beberapa kasus, orang yang dikategorikan dewasa justru orang yang berusia belasan tahun- kita sering menggelari mereka dengan sebutan ANAK INGUSAN- , dan beberapa orang diatas usia 20 dan 30-an masih dikategorikan bersifat kekanak-kanakan, manja dan sering ngambek. Secara pribadi saya mempunyai seorang teman yang kini berusia 24 tahun dan beliau termasuk kategori yang kedua ini.

Contoh ini tentu saja belum mewakili dan tolong digaris bawahi saya tidak hendak mengatakan bahwa dewasa itu tidak ada kaitanya sama sekali dengan usia. Korelasi antara dewasa dan usia tetaplah ada, tetapi sekali lagi usia kadang tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap derajad kedewasaan seseorang. Jadi yang ingin saya tegaskan disini ialah patokan usia untuk menentukan seseorang sudah dewasa atau belum tidaklah dapat serta merta digunakan.

So bagaimana untuk menentukan secara "akurat" seseorang sudah dewasa atau belum? Sengaja kata akurat saya beri tanda petik karena itu adalah semata-mata pandangan subyektif saya yang potensial salah. Jawaban yang saya dapatkan adalah sangat klise : DENGAN PARAMETER SIKAP. Atau dengan kata lain : LIHAT SIKAPNYA DALAM MENGHADAPI BERBAGAI PERSOALAN YANG ADA.

Seseorang yang dewasa akan bersikap secara dewasa pula, begitu juga sebaliknya. Sikap adalah manifestasi secara kasat mata derajad kedewasaan seseorang. Ia adalah hasil perpaduan yang harmonis antara hati, pikiran dan perasaan dalam merespon segala hal yang dihadapi oleh pemiliknya. Dengan melihat sikapnya kita akan mengetahui dengan jauh lebih valid seseorang itu sudah dewasa atau belum. Singkatnya sikap seseorang menunjukan sifat seseorang itu.

Sedangkan kalau kita telisik lebih jauh, sikap tidak lebih daripada operasional dari kata hati, perasaan, dan pikiran seseorang akan sesuatu. Sehingga dengan demikian dapat kita katakan : dewasa berbanding lurus dengan sikap, sikap berbanding lurus dengan apa kata hati, perasaan dan pikiran kita. Kalimat ini adalah kunci utama untuk mengetahui dan menjadi dewasa. inilah rahasianya. what? Mana bisa?

Makanya di awal saya mengatakan bahwa menjadi dewasa itu GGS (gampang-gampang susah). Karena ternyata kunci dan rahasia dewasa ada pada : HATI, PERASAAN dan PIKIRAN kita. Menurut saya selama kita mampu mengendalikan dan mengarahkan hati, perasaan dan pikiran kita maka sikap kita akan tertata, semakin tertata sikap kita maka... anda jawab sendirilah. Jadi pointnya ada pada kata pengendalian dan pengarahan atau dalam bahasa kerennya : menejemen. Menejemen hati, perasaan, dan pikiran kita. Itu operasinya.

Semakin bagus menejemen hati, perasaan dan pikiran kita, maka semakin bagus pula sikap kita. Semakin bagus sikap kita, semakin tinggi derajad kedewasaan kita. Dan inilah yang GGS itu. Sebab hati, perasaan dan pikiran itu instabil, fluktuatif, dan mudah berubah. Jalan satu-satunya menejemen hati, perasaan, dan pikiran hanya dengan sering melatihnya untuk dapat bersifat stabil, bersabar dan teguh pendirian. Tentunya ini harus diiringi pengorbanan dan dengan apa yang disebut ilmu ikhlas. Dan lagi-lagi ilmu ikhlas ini juga masuk kategori GGS tadi. anda tentu pernah melihat sinetron "Kiamat Sudah Dekat" bukan?

So, setelah kita mengerti apa yang hendak kita lakukan? Saya tidak bisa memaksa. Itu terserah kita. Anda dan saya punya kebebasan untuk memilih. Tetap seperti ini alias tidak atau belum dewasa atau memilih menjadi dewasa dengan jalan memperkuat dan melatih kemampuan menejemen hati, perasaan dan pikiran kita.

(COLGIS-UUM-KEDAH-MALAYSIA)

09 Februari 2009

BUNGA-BUNGA TERUS BERSEMI

Saya sangat bersyukur diusia yang tiada lagi remaja ini perasaan saya semakin mantap. Optimisme dan antusiasme perjuangan yang dulu ditanamkan kini semakin berkecambah. Memandang masa depan dengan sepenuh harapan dan kepercayaan diri. Ternyata "gemblengan kesukaran" yang menjadi menu sehari-hari dahulu berbuah vitalitas yang sukar terpatahkan dimasa kini. Tanpa kesukaran adalah mustahil kita akan mampu menyelami manisnya keberhasilan dan kemudahan. Sebab tiada "keberhasilan tanpa pengorbanan, dan tiada pengorbanan tanpa kesukaran". Apalagi kita akan terus dihadapkan pada variasi realitas kehidupan sepanjang hayat. Variasi realitas kehidupan yang tiada terduga yang mesti kita hadapi siap tidak siap, sanggup tidak sanggup. Atau lebih tepatnya variasi kehidupan yang tiada pernah dapat kita duga. Siapakah yang dapat menduga apa yang ia dapatkan nanti, besok atau lusa?

Bagi saya variasi realitas kehidupan yang tiada terduga memang menjadi perjalanan yang teramat menantang. Arus kehidupan yang selalu berubah adalah anugerah yang tak akan pernah menjemukan untuk terus di takhlukan. Ia selalu menjelma secara evolutif dalam setiap perpindahan derajat kedewasaan kita. Derajat kedewasaan yang mengukur seberapa besar kekuatan jiwa kita untuk mampu menundukkan setiap fenomena kehidupan yang kita hadapi. Betapa kita sadari fenomena kehidupan itu terkadang menjadi monster ganas yang siap menerkam kita, menyudutkan kita dalam posisi yang sulit dan penderitaan, tapi kadang juga menjadi bidadari anggun yang begitu menawan membuat kita merasa bahagia dan terlena. Lain waktu berubah menjadi monster dan bidadari yang memaksa kita mengecap dilema. Itulah "menu-menu wajib" bagi pengemban amanah tuhan yang bahkan bumi, langit, dan gunung pun tak pernah sanggup menerimanya.

Sekali lagi kekuatan jiwa dalam mengarungi samudera kehidupan begitu menentukan. Determinasinya yang pasti menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar. Oleh karena itu berbahagialah bagi siapa saja yang dalam rentang kehidupannya teruji kekuatan jiwanya. Ia kukuh bertahan meski badai kehidupan datang melandanya. Badai sekuat apapun tidak akan pernah mampu mengkaramkan bahtera dirinya dalam melayari samudera kehidupan.

Tentunya tidak mudah mendapatkan kekuatan jiwa, dan menurut saya tidak setiap orang mampu mendapatkanya dengan sempurna. Hanya orang-orang yang siap dan terbiasa menerima "gemblengan kesukaran" yang akan mendapatkannya dengan sempurna. Bagi orang yang enggan dan lari dari gemblengan itu, maka ia mungkin tidak akan mendapatkanya sama sekali, atau jika mendapatkannya hanya dalam skala yang kecil yang mudah hilang.

Tapi sejujurnya saya tidak tahu, dalam derajad kedewasaan saya sekarang ini apakah saya sudah mempunyai kekuatan jiwa yang kukuh. Yang pasti saya mencoba menikmati setiap "gemblengan kesukaran" itu dengan keikhlasan hati agar derajad kedewasaan saya berbanding lurus dengan kekuatan jiwa yang ada. Itu berarti semakin tinggi derajad kedewasaan saya, harus semakin tinggi pula kekuatan jiwa yang saya miliki. Dan semakin tinggi kekuatan jiwa itu tentu kesempurnaanya-just a matter of time-. Ibarat bunga, ia akan terus bersemi memproduksi keindahan dan keharuman yang semakin memikat pandangan mata.

Bagaimana dengan anda?

(COLGIS-UUM-KEDAH-MALAYSIA)

05 Februari 2009

AKHIRNYA "DIA" DATANG JUGA

Pemuda pengembara itu tersenyum bahagia. Raut wajahnya terlihat bersinar cerah secerah langit yang tak berawan sedikitpun. Hari ini Kamis, lima hari bulan - penyebutan tanggal 5 Februari dalam bahasa Malaysia- adalah hari bersejarah bagi dirinya. Betapa tidak, pada hari ini sekali lagi penantian 365 harinya resmi berakhir. Tak terasa 12 purnama sudah dia kembali membawa dirinya melewati hari demi hari. Dan sejarah kehidupan telah mencatatnya bahwa ia pernah disini. Berdiri dengan sepenuh kemampuan menyongsong takdirnya. Meski berat, ia tak ingin menyerah kalah.

Dan ketika hari ini menyapanya, ia menyambutnya dengan bahasa sederhana. Bahkan mungkin terlalu sederhana. Kesederhanaan yang merupakan ungkapan tulus rasa syukurnya. Sebuah sujud kecil yang ia tahu tak berarti apa-apa. "Terima kasih ya Allah atas nikmatmu yang tiada terkira ini. Aku mohon berilah hambamu ini kekuatan untuk menempuh perjalanan selanjutnya. Hingga pengembaraanku nanti berakhir dalam kemuliaan dengan sempurna. Sungguh tiada daya dan upaya selain atas izin dan kuasa-Mu".

Ia pun kembali melangkah meneruskan perjalanannya yang (mungkin) masih panjang!

(KOLEJ BUKIT KACHI-SINTOK-KEDAH-MALAYSIA)

04 Februari 2009

ORANG-ORANG DI SEPANJANG JALAN ITU

Melihat orang-orang itu seakan-akan saya tercekat. Tak terasa hati saya menjadi sangat dingin, diam-diam mata ini memerah menahan isak. Tergetar batin saya membayangkan betapa pedihnya kehidupan yang mereka jalani. Kesunyian dan kesepian diusia senja semakin menelanjangi kelemahan mereka. Tanpa seorangpun yang seharusnya berada di sekeliling mereka, menjaga dan merawat mereka, memberinya sedikit kasih, saat ini hadir bersamanya. Saya tidak tahu entah dimana, entah ada ataukah tiada "orang-orang yang bertanggungjawab itu". Yang saya saksikan tak satupun orang-orang itu mendapati kehangatan hidup sebuah keluarga. Sebuah kehidupan yang menurut saya begitu menyiksa.

Mereka terbaring, duduk, berdiri , dan berjalan dengan tatapan mata tanpa harapan. Yang mereka tunggu hanyalah kapan ajal menjelang, menyusuri waktu dengan membawa beban kepedihan sepanjang jalan. Orang-orang itu telah di campakan kepada garis ketidakberdayaan. Sendirian dalam kelemahan menjalani sisa waktunya dengan bertemankan bumi dan langit. Mereka adalah orang-orang tak beruntung yang menjadi tunawisma di usia tua. Bertahan hidup hanya dengan mengharap belas kasih orang, meminta-minta di pinggir jalan. Sungguh saya tak sanggup membayangkan, bagaimana seandainya hal itu terjadi pada diri atau keluarga saya. Saya yakin pasti anda pun juga tidak akan mampu.

Kita pasti sepakat bahwa orang-orang itu tak sepantasnya disana, mereka tak seharusnya menderita dikala tua. Saat ini mereka seharusnya menikmati indahnya hari tua bersama anak dan cucunya, tersenyum cerah memanen buah kasihnya dikala muda. Dan dengan tenang menyongsong kematian apabila dia datang kepadanya.

Lalu, siapakah yang telah sedemikian tega menyia-nyiakan mereka? Siapakah yang telah menjadikan mereka hina dalam ketuaanya? Siapakah yang membiarkan mereka tiada berkasih dan berkeluarga saat kematian menyapa? Adakah itu kita? Mari kita jawab pertanyaan ini bersama-sama dengan penuh kejujuran.

Karena menurut saya, seringkali kita tidak pernah memikirkan orang lain. Kita sibuk dengan diri dan keluarga kita sendiri. Hati nurani dan belas kasih kita tidak lagi sensitif karena di tutupi egoisme, individualisme dan materialisme yang semakin pekat akibat terjangan arus globalisasi dan liberalisasi. Hingga kepedulian kita kepada sesama menjadi tipis dan bahkan hilang sama sekali. Dan hidup hanya untuk diri sendiri, seakan-akan kita hanya hidup sendirian di muka bumi ini.

(COLGIS-UUM-KEDAH-MALAYSIA)

02 Februari 2009

MENAPAKI ANAK TANGGA SELANJUTNYA

Anak muda itu masih merasa ini adalah hari, bulan, dan tahun yang dulu. Perasaannya mengatakan semua itu masih sama, tiada yang berubah sedikitpun. Deretan angka-angka yang berkedip bagaikan stopwacth itu pun seakan tak dihiraukannya. Meski ia tahu deretan angka-angka itu selama ini telah begitu setia menemani setiap detik langkah kakinya. Deretan angka-angka yang dengan telaten membisikan kata-kata pengingat kepadanya. Kata-kata yang secara lembut telah memberi informasi rentang jarak masa pengembaraanya dengan sangat akurat.

Ia sadar perasaan itu telah menipunya. Hari, bulan, dan tahun itu sebenarnya telah berganti. Memang matahari, bulan, bintang, dan langit itu masih matahari, bulan, bintang, dan langit yang dulu itu. Tetapi mereka sudah bukan matahari, bulan, bintang, dan langit seperti pada hari, bulan, dan tahun yang dulu saat ia pertama kali memandang kehidupan. Semua telah beranjak, melaju dengan amat perlahan dan memberinya catatan kecil.

Sebuah catatan kecil yang didalamnya dengan jelas berbunyi : "Wahai lelaki pengembara, sesungguhnya engkau telah berjalan ke arah barat. Membawa langkah kakimu untuk menjemput senja, menuju mentari tenggelam dalam garis cakrawala. Ingatlah tapak-tapak kakimu telah meninggalkan garis jejak, dan aku telah dengan cermat menghitungnya. Garis jejak itu telah menukar hari dengan hari, bulan dengan bulan dan tahun dengan tahun. Sehingga aku dapatkan darimu sebuah ukuran. Ibarat engkau naik sebuah tangga sampai hari, bulan, dan tahun ini beberapa anak tangganya telah engkau putuskan, tinggal beberapa anak tangga yang dapat kau gunakan. Tetapi aku tak tahu, berapa banyak ia tersisa. Sebanyak atau sedikit apapun yang tersisa hendaknya kau pergunakan dengan sebaik-baiknya. Dan mulai hari itu engkau akan menapaki anak tangga berikutnya. Selamat jalan".

Berkali-kali, orang muda itu membolak-balikan catatan kecil itu. Ia mengerti benar apa makna kata-kata singkat itu. Perjalanan barunya akan dimulai ketika stopwacth kehidupannya mulai mengganti deretan angka-angka itu menjadi lebih tinggi tepat pada hari, bulan dan tahun itu. Ketika saat itu tiba maka ia telah sampai pada anak tangga kehidupannya yang kesekian.

(KOLEJ BUKIT KACHI-SINTOK-KEDAH-MALAYSIA)

01 Februari 2009

PAK CIK AWANG

Sebelumnya saya tidak begitu memperhatikan dirinya. Tidak ada yang special dari sosok seorang laki-laki berumur sekitar 50-an itu. Kulitnya agak kehitaman, rambutnya lurus pendek dengan postur tubuh sedang. Ia adalah salah seorang kaki tangan Kolej Bukit Kachi yang bertugas untuk kebersihan (Cleaning service). Saya berkenalan dengan beliau pada saat kami (aku dan 8 orang temanku) pertama kali menunggu bis untuk berangkat ke universiti (Baca Sampai Magrib Pun dan Tawaran yang Menggiurkan). Waktu itu saya belum tahu namanya, beliau pun belum tahu nama saya karena kami tidak saling menyebut nama.

Perkenalan kami pun berlanjut, karena area kerja beliau ternyata berada di Blok 15 B, itu blok dimana bilik saya dan teman-teman laki-laki lain berada. Ketika beliau sedang menyapu, dan kebetulan saya sedang lewat untuk membeli air, kami saling bertukar senyum dan bertegur sapa. Tentunya ini sesuai dengan adat kebiasaan dan sopan santun orang timur, yang selalu ingin menampakan keramahannya. Dan gayung pun
bersambut.

Dari perbincangan itu, saya menyimpulkan bahwa beliau adalah orang yang benar-benar ramah. Meski sekali lagi hambatan bahasa menjadi kendala efektivitas perbincangan kami. Tetapi ini tidak menjadi masalah berarti. Yang paling mengesankan adalah meskipun kami belum banyak mengenal waktu itu beliau tidak segan-segan menawari saya untuk main kerumahnya di Changlun, sebuah Kampung (Kota kecil) sebelum Alor Setar (Ibukota Negeri Kedah) berjarak 45 menit dari Kolej Bukit Kachi. Mungkin hal ini disebabkan karena tampang dan perilaku saya yang tampak seperti anak baik-baik, jujur dan sopan (chueilah..yang bener aja tu? He..he..).

Sebenarnya saya sangat senang dengan tawaran itu, apalagi waktu itu sedang libur. Disini liburannya hari Jumat dan Sabtu tidak seperti Indonesia yang libur pekanannya hari Sabtu dan Minggu. Tetapi karena siangnya Jumatan, dan ada beberapa cucian yang belum sempat di bereskan, dengan halus saya menolak. Mungkin lain kali, kata saya. Kemudian kami berpisah untuk meneruskan aktivitas masing-masing. Waktu itu kami juga belum tahu nama masing-masing.

Sampai akhirnya, kemarin pagi kami bertemu lagi, waktu itu saya habis lari pagi mengelilingi kolej bukit kachi dan hendak kembali kebilik , sedang beliau kelihatannya sedang menunggu sesuatu di luar Blok 15 B. Kamipun bersalaman dan bercakap-cakap sambil duduk di pembatas beton.

Pembicaraan pertama saya buka dengan pertanyaan : berapa hari beliau tidak ke Kolej bukit kachi, karena memang selama beberapa hari terakhir saya tidak pernah melihat beliau. Dengan tersenyum beliau menjawab “berhari-hari”. Ini menunjukan memang beberapa hari terakhir ini beliau mengambil cuti sehingga tidak datang ke kolej. Menyusul pertanyaan beliau “sudah breakfast?”. Belum, jawab saya. Karena disini tidak ada warung yang buka sebegitu pagi, paling banter jam 09.00 café-café disini baru buka, sehingga jelas saya belum sarapan pada pukul 08.00 itu.

Mendengar jawaban itu, saya disuruh beliau untuk mengambil sebuah kue dari bungkusan yang dibawanya. Sebenarnya saya merasa enggan (sebenarnya sih : malu-malu tapi mau) karena saya tahu itu adalah bekal beliau dari rumah untuk sarapan paginya. Tetapi karena beliau memaksa, dengan terpaksa ( dengan “senang hati” maksudnya) saya pun mengambil kue itu dan kemudian saya makan. Lumayanlah untuk pengganjal perut ,pikir saya. Dan memang kue itu amat mengenyangkan, satu sudah cukup bagi perut saya yang “kecil” ini.

Sambil saya menikmati kue itu, kami meneruskan perbincangan kemana-mana. Mulailah beberapa “rahasia” kami masing-masing berloncatan keluar. Untuk pertama kalinya sejak perkenalan pertama kami , hari itu kami tahu nama masing-masing. Beliau menyuruhku untuk memanggilnya Pak Cik. Dan untukku saya meminta beliau memanggilkan Har. Sebenarnya nama Haryono dan nama Indonesia yang lainnya, bagi orang Malaysia adalah nama yang aneh sekaligus sukar untuk di ucapkan. Kadang nama itu terdengar lucu saat mereka coba memanggilnya. Tetapi tak apalah.

Pagi itu kembali Pak Cik awang menawarkan saya untuk main kerumahnya. Dan
kali ini sayapun mengabulkannya. Bahkan saya diminta untuk menginap sehingga harus membawa pakaian ganti biar besok (hari minggu) langsung bisa ke university. Sayapun setuju. Sebelum berpisah Kami berjanji pukul 12.45 nanti siang akan berangkat kerumah Pak Cik Awang dengan mengendarai sepeda motornya.

Tetapi rencana, tinggalah rencana. Mungkin memang belum saatnya saya berkunjung kerumah Pak Cik Awang. Mungkin juga karena kesalahan saya. Karena siang itu saat saya pulang dari waterfall saya sudah tidak mendapati beliau dan sepeda motornya di blok 15 B. Saya memang terlambat, waktu itu pukul sudah menunjukan jam 12.50, dan saya yakin beliau sudah pulang pukul 12.45 tadi. Waktu yang kami sepakati untuk berangkat.

Saya merasa sangat bersalah, telah menyalahi janji. Juga karena saya yakin tadi beliau pasti menunggu saya atau juga kebingungan mencarI-cari saya. Ingin rasanya segera bertemu beliau untuk meminta maaf. Tetapi karena beliau baru kembali keesokan paginya ditambah saya tidak tahu nomer telepon beliau, maka niat itu terpaksa saya urungkan.

Dengan kejadian ini saya berjanji untuk mendisiplinkan diri, sekaligus untuk menebus kesalahan saya ini
dengan mantap saya sudah memastikan bahwa saya akan berkunjung ke rumah Pak Cik Awang pada liburan minggu depan. Dan untuk itu dari sekarang sudah saya jadwalkan dengan baik-baik. Semoga niat baik itu di kabulkan oleh Allah. Amin.

(COLGIS-UUM-KEDAH-MALAYSIA)