15 Februari 2012

HARTA PALING BERHARGA

Suatu waktu saya merenungkan sebuah pertanyaan sederhana : apakah yang paling berharga bagi saya? Sesuatu yang sangat berarti yang tiada dapat terbarukan dan tergantikan sepanjang hidup saya, sesuatu yang karenanya saya menjadi berarti dan berharga pula.

Mencari jawaban atas pertanyaan itu saya teringat kepada sebuah serial buku (atau novel bersambung?) yang ditulis oleh Dr. Karl May : Kara Ben Nemsi IV : Dipelosok Balkan. Kisah dalam buku ini merupakan salah satu kisah favorit saya. Dalam buku yang secara garis besar menceritakan kisah petualangan seseorang yang dijuluki Efendi didaerah Balkan ini, ada sebuah pernyataan yang, menurut saya, sangat mengena dengan pertanyaan saya diatas. Pernyataan ini keluar dari seorang asing yang baru saja dikenal si Efendi dalam perjalanan petualangannya, yang akhirnya menjadi mereka menjadi sahabat karib.

Pernyataan itu pun diucapkan dengan sepenuh keyakinan dan kesadaran hati. Penuh penghayatan dalam arti yang sesungguh-sesungguhnya, bukan hanya dibibir tapi tidak sampai kehati, bukan hanya sekedar lip service yang menipu saja. Nada, getaran suara dan tatapan matanya begitu mantap mencerminkan sikap jujur dan apa adanya seorang pria ksatria.

"Bagi seorang anak, harta yang paling berharga dalam hidupnya adalah kedua orang tuanya. Jika salah satu atau kedua orang tuanya telah wafat, maka harta itu tinggalah di pekuburan. Maka jika demikian halnya betapakah saya tidak sayang dan kasih kepada orang tua saya?''

Pernyataan itu begitu kuat, lugas, dan mengena. Saya pun mengamininya tanpa ragu. Kedua orang tua sayalah mestika paling berharga itu. Harta yang dengannya saya mampu berproses menjadi diri yang berarti dan dihargai siapa pun. Merekalah yang membuat hal itu terjadi pada diri saya saat ini. Boleh dikatakan merekalah harta sekaligus anugerah paling mahal sekelas matahari yang menerangi tanpa pamrih.

Alhammdulillah, kedua orang tua saya masih menemani dan membimbing sampai saat ini (Semoga Allah memanjangkan umur mereka dan menjaga mereka sentiasa dalam keadaan yang terbaik, amin), meskipun usianya sudah terbilang mendekati usia lanjut dan kadang sakit-sakitan. Saya mencoba membandingkan keadaan ini dengan kerabat, tetangga, atau kawan yang orang tuanya satu atau kedua-duanya sudah wafat. Ibarat perkataan diatas "Jika salah satu atau keduanya telah wafat, maka harta itu tinggalah di pekuburan". Keadaan dengan kedua orangtua lengkap adalah karunia yang harus saya syukuri. Harta yang paling berharga masih membersamai saya dengan kasih sayang, senyuman, motivasi, dan sentilan-sentilan korektifnya.

Hal yang menjadi PR saat ini adalah bagaimana sinar kasih sayang dan senyuman mereka itu dapat saya pantulkan kembali kepada mereka. Meski jelas dan pasti tidak akan dapat menyamainya dalam kadar dan kualitas mereka yang terbaik, biarpun saya berusaha dengan keras sepanjang badan terkembang. Itulah sunnah kehidupan, amal kebaikan orangtua kepada anak-anaknya tiadakan mampu terbalas tunai oleh putra maupun putrinya sampai kapan pun. Usaha yang sungguh-sungguh dan terbaiklah yang bisa di upayakan, agar usaha itu mampu membuat mereka tersenyum bahagia dan bangga. Usaha yang dicerminkan dengan perilaku interaktif keseharian dengan mereka yang lemah lembut, santun dan penuh kebersamaan (Insya Allah)...

(Sangiran, Kalijambe, Sragen)