30 Juni 2009

MENUNDUKKAN DILEMA SBY-JK : DI KAKI MANA AKU BERDIRI ?

(Tulisan ini tidak bertendensi untuk menggoyahkan, tetapi lebih kepada mendudukan diri dalam perjuangan menundukkan sebuah dilema yang mau tidak mau harus diakui keberadaannya dalam komunitas ini)

Diskusi untuk menentukan dimana tangan kita harus ditempatkan dalam Pilpres ini bagi sebagian besar orang dalam komunitas kita mungkin sudah selesai. Pilihan sudah dijatuhkan, tinggal bagaimana dan apa upaya kita untuk memenangkan pilihan itu. Tangan kita telah menunjuk, berjabat erat dan diletakkan dalam ikatan politik koalisi SBY-Boediono. Dalam konteks ini berarti daya upaya kita sekarang adalah bagaimana mengamankan dan menggolkan jago yang kita usung. Apalagi prosesi pencontrengan tinggal menunggu hitungan jari.

Namun bagi sebagian kecil orang (wallahu a’lam berapa jumlah pastinya, angka kecil ini asumsi saya pribadi), termasuk saya, hal itu belumlah selesai atau setidak-tidaknya sedang dalam proses penyelesaian. Bagi saya pribadi pilihan kepada SBY pada awalnya tidak ada masalah, saya sangat apreciate kepada prestasi dan kharisma beliau. Waktu itu dukungan saya penuh kepada beliau sebagaimana bisa kita baca pada artikel-artikel saya sebelum ini (lengkapnya bisa dibaca : Memahami Antagonisme PKS dan Golkar, Menakar Kesungguhan Sikap Partai Golkar, dan Membaca Polarisasi Koalisi Parpol Menuju Kontestasi Pilpres). Tetapi masalah kemudian muncul, hal ini dimulai ketika ada polemik penentuan siapa cawapres yang akan digandeng SBY. Nama yang santer keluar dan menjadi kandidat terkuat kemudian teramat mengejutkan saya : Boediono. Sampai akhirnya muncul titik kepastian, SBY mengesahkan Boediono sebagai cawapresnya. Ini benar-benar mengecewakan saya (mungkin juga sebagian kecil orang sebagaimana saya sebut diatas). Apalagi diawal sudah begitu masif dihembuskan gerakan penolakan terhadap neoliberalisme dan konotasi neoliberalisme ini tidak lain adalah salah satunya Boediono. Dan saya adalah bagian dalam gerakan itu.

Bagi saya pilihan bersama Boediono ini begitu menggoncang, betapa saya harus menjilat ludah saya sendiri. Ibarat berteman dan menjadi pengawal orang yang saya identifikasi sebagai musuh dan hendak saya perangi. Mencintai dan menjadikan isteri orang yang pernah saya tolak mentah-mentah dan saya anggap setan. Jujur untuk itu saya berkelahi dengan hati nurani selama berpekan-pekan ini. Apalagi setelah melihat iklan-iklan calon lain dan beberapa fakta yang terungkap (lebih mudah search saja di internet atau ikuti pemberitaan di media terutama TV), juga sebuah iklan SBY-Boediono yang menurut saya sarat pembohongan (iklan SBY-Boediono dengan guru, petani, dll). Simpati saya kepada SBY perlahan-lahan pudar dan beralih kepada JK-Wiranto. Lengkap sudah dilema ini.

Tetapi saya juga sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa, terlepas dari back ground independensi gerakan mahasiswa, saya adalah kader sebuah partai yang telah men-declare-kan diri dalam barisan koalisi SBY-Boediono. Konskuensi dari keberadaan diri saya sebagai kader partai ini adalah ketaatan kepada kebijakan partai. Mengingat bahwa dalam partai ini sudah ada mekanisme pengambilan keputusan yang legitimate dan konstitusional yakni lewat majelis syuro, maka keputusan yang kemudian menjadi garis kebijakan partai harus di dukung, di ikuti dan dipatuhi oleh para kadernya kecuali ia ingin menjadi pembangkang. Apalagi pengajaran ini sudah sampai dan sudah sangat dipahami : ”keputusan dari hasil syuro lebih baik dari pada keputusan pribadi yang paling baik sekalipun”, juga ”tidak ada pendapat pribadi setelah syuro memutuskan”.

Kesadaran ini yang membawa keputusan pada dilema saya. Karena pilihan harus dijatuhkan maka saya memilih untuk menjadi kader yang taat, mengikuti garis kebijakan partai untuk bersatu didalam barisan SBY-Boediono. Meski tidak dapat saya pungkiri simpati saya kepada JK-Wiranto sangat besar bahkan mengalahkan simpati saya kepada SBY-Boediono yang sekarang sangat minimalis. Tentunya kita sepakat bahwa keberhasilan dan prestasi SBY dan JK itu adalah suatu hal yang debatable dan berbagai informasi dapat kita konsumsi untuk mengkonfirmasi, mengklarifikasi sekaligus mengkonfrontirnya.

Akhirnya karena simpati ini adalah pekerjaan hati, ijinkan saya meminta pengertian untuk tetap menyimpannya. Dengan kata lain : meski tangan dan kaki saya untuk SBY-Boediono tapi biarkanlah simpati saya bersama JK-Wiranto sampai Allah mengubahnya lagi . Wallahu a’lam bishowab.

(JUMAPOLO-KARANGANYAR)

05 Juni 2009

REMBULAN TANJUNG PRIOK


Apa kabarmu rembulan tanjung priok?
masihkah kau dilangit itu

merekahkan senyumanmu seperti malam-malam dulu

saat jendela ku buka dan kupandangi ayu wajahmu

dan sedikit kau tersipu,

bersembunyi diri dalam ketundukanmu


Apa kabarmu rembulan tanjung priok?

masihkan purnamamu seindah bayanganku

yang setiap kali muncul menerpa mataku

sempurna seperti nawang wulan

bidadari suci yang turun kahyangan

membumi diri kepada sang jelata tanpa penyesalan


Apa kabarmu rembulan tanjung priok?

rindu hatiku bertanya saat purnamamu tak lagi menyapa

Meski jendela ini ku biarkan menunggumu selamanya


Apa kabarmu rembulan tanjung priok?

kini kesunyian malam terlewatkan tanpa cahayamu

dan sang jelata tak lagi menemui nawang wulan

Ia telah di tinggalkan ke awang-awang


Apa kau tidak menanyakan kabarku rembulan tanjung priok?

membalas ratapan sang jelata kepada nawang wulan

agar kau kembali hadir di bumi ini memberiku kesejukan...

(JUMAPOLO-KARANGANYAR)