07 Mei 2009

SURAT UNTUK CINTAKU


Sebenarnya surat ini ingin kukirimkan kepadamu, wahai engkau yang telah menawan hatiku. Surat ini ingin kuselipkan dalam satu kehidupanmu, namun aku hanya lelaki yang tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan seluruh percikan rasa yang menggelora dalam hatiku. Aku merasa, aku hanyalah dia yang engkau anggap tidak lebih, aku hanyalah dia yang belum tentu di hatimu.

Assalamu’alaikum wahai engkau yang telah menawan hatiku,


Tiada terasa puluhan purnama sudah aku memendam rasa itu, rasa yang ingin segera kuselesaikan tanpa harus mengorbankan satupun perasaan kita : perasaanku atau perasaanmu. Seperti yang engkau tahu, aku selalu berusaha menjauh darimu, aku selalu mencoba tidak acuh padamu. Saat di depanmu, aku ingin tetap berlaku sewajarnya walau sulit untukku mencapainya. Bahkan seringkali aku tak bisa.


Tahukah engkau wahai yang telah menawan hatiku? Entah mengapa aku dengan mudah berkata “cinta” kepada mereka yang tak kucintai. Namun kepadamu, lisan ini seolah terkunci. Dan aku merasa beruntung untuk tidak pernah berkata bahwa aku mencintaimu. Jika boleh aku beralasan, mungkin aku cuma takut engkau akan menjadi “illah” bagiku, karena itu aku mencoba untuk mengurung rasa itu jauh ke dalam, mendorong lagi, dan lagi hingga yang terjadi adalah pertarungan batin yang membuatku semakin menggigil.


Berat hatiku memang, saat prasangkaku berbicara bahwa engkau mencintai dia dan tak ada aku dalam kamus cintamu. Sungguh berat, sakit terasa dan begitu amat perih. Namun 1000 kali rasa itu lebih baik saat aku mengerti bahwa senyummu adalah sesuatu yang paling berarti bagiku. Ketentramanmu adalah kebahagiaan yang mendekapkan kesejukan dihatiku, dan aku menerima bila aku harus pergi. Berlari membawa hatiku untuk sembunyi.


Wahai engkau yang telah menawan hatiku. Andai aku boleh berdoa kepada Tuhan, mungkin aku ingin meminta agar Dia membalikkan sang waktu. Agar aku mampu mengedit saat-saat pertemuan itu. Hingga tak ada tatapan pertama yang membuat hati ini terus mengingatmu.

Banyak lembaran buku yang telah kutelusuri, banyak kawan yang telah kumintai pendapat. Sebahagian mendorongku untuk mengakhiri segala prasangkaku tentangmu, tentang dia. Karena sebahagian prasangka adalah suatu kesalahan. Mereka memintaku untuk membuka tabir lisan ini, juga untuk menutup semua rasa prasangkamu terhadapku. Namun di titik yang lain ada dorongan yang begitu kuat untuk tetap menahan rasa yang mungkin terlalu awal, telah tertancap dihati ini dan membukanya nanti pada suatu waktu yang indah, yang telah ditentukan itu (andai itu bukan suatu mimpi).

Wahai engkau yang telah menawan hatiku. Mungkin aku bukanlah lelaki tangguh yang siap untuk segera “menikah” denganmu. Masih banyak sisi lain hidup ini yang harus kukelola dan kutata hingga semuanya mendukungku untuk meminang dirimu. Juga engkau wahai yang telah menawan hatiku, engkau yang menurut prasangkaku dengan halus menolak diriku dengan alasan belum saatnya memikirkan itu. Sungguh aku tidak ingin menanggung beban ini yang kelak akan berujung kepada kefatalan jika hati ini tak mampu kutata, juga aku tidak ingin “berpacaran” denganmu. Sungguh bukan itu yang kumau.


Wahai engkau yang telah menawan hatiku, mungkin saat ini hatiku milikmu. Namun tak akan kuberikan setitik pun saat-saat ini karena aku telah bertekad dalam diriku, bahwa saat-saat indahku hanya akan kuberikan kepada BIDADARI-ku. Wahai engkau yang telah menawan hatiku, tolong bantu aku untuk meraih bidadari-ku bila dia bukan dirimu.


Wahai engkau yang telah menawan hatiku, tahukah engkau betapa saat-saat inilah yang paling kutakutkan dalam diriku. Jika saja Dia tidak menganugerahi aku dengan setitik rasa malu, tentu aku telah meminangmu bukan sebagai istriku namun sebagai kekasihku. Andai rasa malu itu tidak pernah ada, tentu aku tidak berusaha menjauhimu. Kadang aku bingung, apakah penjauhan ini merupakan jalan yang terbaik yang berarti harus mengorbankan ukhuwah diantara kita atau harus mengorbankan iman dan malu-ku hanya demi hal yang tampak sepele yang demikian itu.


Aku yang tidak mengerti diriku...,


Ingin aku meminta kepadamu, sudikah engkau menungguku hingga aku siap dengan tegak meminangmu dan kau pun siap dengan pinanganku? Namun wahai engkau yang telah menawan hatiku, kadang aku berpikir semua pasti berlalu dan aku merasa saat-saat ini pun akan segera berlalu. Tetapi ada ketakutan dalam diriku bila aku melupakanmu, aku takut tak akan pernah lagi menemukan dirimu dalam diri mereka-mereka yang lain.


Wahai engkau yang telah menawan hatiku, ijinkan aku menutup surat ini dan biarkan waktu berbicara tentang takdir antara kita. Mungkin nanti saat dimana kau telah menimang cucumu dan aku juga demikian, mungkin kita akan saling tersenyum bersama mengingat kisah kita yang sedih ini. Atau mungkin saat kita ditakdirkan untuk merajut jalan menuju keindahan sebahagian dari iman, kita akan tersenyum bersama, betapa akhirnya kita berbuka dengan kebahagiaan setelah menahan perih rindu yang begitu mengguncang sekian lama.


Wahai engkau yang telah menawan hatiku, mintalah kepada Tuhan-mu, Tuhan-ku, dan Tuhan semua manusia, akhir yang terbaik untuk kisah kita. Memintalah kepada-Nya agar iman yang tipis ini mampu bertahan selamanya, memintalah kepada-Nya agar menetapkan rasa malu ini abadi pada tempatnya.


Wahai engkau yang sekarang kucintai, semoga hal yang terjadi ini bukanlah sebuah Dosa. Amin.


Wassalam.


-dari Muhammad Baiquni, kutulis ulang dengan beberapa perubahan bersama pena hatiku-(JUMAPOLO-KARANGANYAR)

1 komentar:

  1. Perasaan cinta jika hanya tersembunyi dihati maka pedih perinya rindu jika datang kepadamu pasti tiada terkirakan. Hendaklah cinta itu menjadi nyata. Meski sangat mungkin ada orang yang tersakiti oleh kenyataan cinta itu. Itulah keharusan cinta dan percintaan kawan.

    BalasHapus