
Ia berjalan tergesa sepanjang jalan kecil itu. Didepan sana di sebuah kelokan terletak sebuah rumah yang telah membesarkanya dengan kehangatan kasih sayang. Sebuah rumah yang benar tiada yang berubah sedikitpun, juga keadaan disekelilingnya. Bahkan para tetangganya, mereka tetap sama seperti dahulu sewaktu di tinggalkanya. Tetap ramah, berkata dengan lembut seraya senyum mengembang di sudut bibirnya, lalu tertawa renyah menyambut kepulangannya. Sungguh mereka tetap sebagai orang-orang yang istiqomah sikap dan pembawaannya. Ia bersyukur untuk itu. Ternyata perubahan yang lama itu telah menjadi misteri kehidupan yang menjaga tradisi baik ini agar tidak luntur sebagaimana pun ia bisa menjaga beberapa tradisi buruk untuk terus tampil di panggung kehidupan. Menyeimbangkan bandul pendulum kehidupan agar tidak bergerak menyimpang dari kodratnya yang berpasang-pasangan.
Aduhai..kenyataan ini yang membuatnya rindu. Kerinduan yang mendorongnya untuk segera bisa menginjakan kakinya di desanya. Kerinduan untuk segera bisa mencium takzim tangan ibu bapaknya. Merasakan usapan lembut belaian tangan mereka mengusap kepala dan menepuk bangga pundaknya. Sekali lagi ia bersyukur. Kedua ibu bapaknya juga masih sama seperti dulu, masih kalem, telaten dan sabar juga rumah itu masih nyaman seperti sebelumnya. Ia merasa sangat nyaman setelah nenyak beristirahat beberapa saat di kamarnya yang sederhana. Saking nyamannya ia merasa bahwa ia tidak pernah kemana-mana selama ini. Ia terus di situ menikmati segenap anugerah kenyamanan yang terasa. Kenyamanan yang selama ini asing ia temui di beberapa kota tempat perantauannya.
Ia pun semakin yakin : seindah-indahnya negeri orang, lebih indah negeri sendiri. Senyaman-nyamannya kampung orang, lebih nyaman kampung sendiri. Meski tentu saja tak semuanya dapat disediakan dan diberikan oleh kampung atau negeri itu kepadanya.
(JEBRES-SOLO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar