29 Januari 2009

MENENGOK ETIKA DEMOKRASI KITA

Suasana politik Indonesia menjelang pemilu legislatif dan presiden bulan April dan Juli yang akan datang semakin memanas. Dinamika yang tampak menunjukan adanya kenaikan eskalasi yang siginifikan. Berbagai manuver politik pun secara vulgar di tampilkan oleh elite politik dan partai politik kita. Kompetisi yang menentukan kehidupan bangsa selama lima tahun kedepan ini semakin keras melaju bak bola liar tak bisa dihentikan. Perseteruan antar kontestan pemilu semakin tak terhindarkan demi mendapat simpati dan keberpihakan publik. Bahkan kalau bisa mendesak lawan, memojokannya, dan menendangnya keluar arena. Minimal membuatnya buruk dimata publik sehingga publik menjauhinya. Maka terbentanglah panggung politik yang secara simultan memainkan drama dan sandiwara politik untuk konsumsi masyarakat sebagai obyek politik. Drama dan sandiwara politik yang begitu mendebarkan, kebisingannya menjadi sinyal sejauh mana keberjalanan demokrasi di negara yang masih belajar demokrasi ini. Kebisingan politik yang menentukan berada di taraf mana demokrasi yang tengah kita tampilkan saat ini.

Salah satu contoh kebisingan itu dapat kita lihat bagaimana baru-baru ini Megawati dan SBY, "capres pasti" dari PDIP dan PD, saling bermanuver untuk meraih simpati publik sekaligus pada kesempatan yang sama menyerang lawannya. Megawati mengkritik SBY dengan perumpamaan : tari poco-poco dan bermain yoyo sedang SBY atau pendukungnya pun membalas dengan tak kalah sengitnya dengan mengatakan Megawati : menari undur-undur, panik dan hanya bisa menonton bola. SBY mengumukan keberhasilan-keberhasilannya saat memerintah, Megawati pun melakukanya. Kritik dibalas kritik, ejekan dibalas ejekan, pengumuman prestasi politik dibalas dengan pengumuman prestasi politik, pokoknya apapun yang dilakukan rival politik jika merugikan diri dan kelompoknya akan mendapatkan pembalasannya. Contoh-contoh yang lain masih banyak, beberapa diantaranya adalah politisasi jumlah angka kemiskinan di Indonesia oleh Wiranto (ketua Umum Hanura), Politisasi kontrak karya Freeport, Exxon Mobil dan indikasi penerimaan dana asing oleh SBY sewaktu kampanye Pilpres 2004 oleh Amien Rais (Mantan Ketum PAN), perpecahan dan konflik di tubuh PKB yang tak kunjung reda, politisasi dan kriminalisasi aksi kemanusiaan PKS terhadap Agresi Israel di Gaza, Palestina. Inilah adegan politik yang biasa dipertontonkan oleh elit politik kita. Adegan politik yang mereka klaim terlegitimasi dalam sistem demokrasi Liberal yang saat ini kita anut.

Pertanyaannya adalah apakah ada yang salah dengan kebisingan politik seperti diatas? Menurut pandangan saya, inilah sistem demokrasi yang didalamnya terwujud segala hak asasi manusia (salah satunya adalah hak menyampaikan pendapat dimuka umum), penegakan supremasi hukum, dan kompetisi yang fair dalam pengisian anggota legislatif dan eksekutif melalui pemilu berkala. Segala hal yang masih dalam koridor itu, dibenarkan dalam demokrasi. sehingga menurut saya segala kebisingan politik yang terjadi saat ini adalah wajar. Tidak ada yang special dari pertunjukan drama dan sandiwara politik yang saat ini tengah kita tonton. Karena secara prinsipil kebisingan politik itu tidak atau belum melanggar prinsip formal demokrasi.

Tetapi apabila kita melihat bagaimana etika demokrasi dijalankan oleh elite politik dan partai politik kita, maka akan kita dapati banyak elite politik dan partai politik kita yang belum beretika dalam berdemokrasi. Mereka masih berdemokrasi sebatas mengamalkan prinsip formal demokrasi, sedangkan etika demokrasi masih banyak di tinggalkan dan hanya menjadi nilai-nilai sloganistis saja. Demokrasi adalah demokrasi tanpa embel-embel moralitas.

Sebagaimana kita ketahui bersama, etika demokrasi menghendaki adanya sopan santun dalam memberi/menerima kritik, adanya obyektifitas dalam memandang persoalan atau dalam memberi kritik, adanya kelapangan dalam menerima kritik, mau mengakui kesalahan, mau mengakui keberhasilan/kegagalan sendiri maupun lawan, mau bekerja sama dengan lawan, menghindari politik black campaign, menghindari money politik, dan sebagainya. Ini semua masih belum kita praktekan. Dan hal-hal yang berlawanan dengan etika demokrasi itu masih marak terjadi. Bahkan kita pertahankan sebagai tradisi.

Jika mau memantapkan demokrasi di negara kita maka kita harus merubah tradisi buruk ini. Artinya kita berdemokrasi secara beretika, demokrasi yang bermoral. Tentunya ini harus kita mulai dari sekarang dan akan lebih baik lagi apabila elite politik dan partai politik sebagai pihak yang memulai dan memberi keteladanan. Karena menurut saya bangsa ini sekarang sangat membutuhkan keteladanan. Keteladan dari siapa lagi kalau bukan keteladanan dari para pemimpin dan elit politik atau partai politik di negeri ini.

(COLGIS-UUM-KEDAH-MALAYSIA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar