31 Januari 2009

SEPERCIK DOA UNTUK SOLO

Saya merasa sangat kaget ketika menyimak berita di Solopos hari ini. Disana diberitakan kota Solo dibeberapa wilayahnya mengalami bencana banjir. Ketinggian air rata-rata 1-2 meter. Berarti ini termasuk dalam kategori banjir besar. Sungguh secara pribadi saya tak menyangka kejadian ini kembali terjadi. Karena sesuai adat kebiasaan banjir terjadi bulan Desember, sehingga kalau bulan Desember kondisinya aman berarti banjir tidak terjadi ataupun kalau terjadi tidak dengan eskalasi sebesar ini. Apalagi musim hujan tahun ini curah hujan yang turun menurut saya tidak terlalu tinggi bila dibandingkan musim hujan tahun lalu.

Yach, tetapi banjir itu telah terjadi, puluhan rumah telah tergenang, dan ratusan bahkan mungkin ribuan orang telah mengungsi. Mereka terpaksa meninggalkan rumah bahkan harta benda untuk menyelamatkan selembar jiwanya. Inilah fenomena wajib kalau banjir menyapa. Dan lagi-lagi masyarakat kecil yang menjadi korban. Hal ini tentu saja sangat disayangkan. Betapa tidak! Fenomena tahunan ini selalu menjadikan mereka sebagai korban, korban dan korban. Mereka menjadi "langganan korban" yang mau tidak mau harus menyandang gelar pengungsi. Mengungsi di daerah sendiri. Bagi saya ini sangat pahit dan memilukan.

Saya selalu bertanya-tanya : tidak adakah yang bisa kita lakukan untuk membuat banjir tidak lagi terjadi? Apa yang sudah kita lakukan untuk ini? Ataukah kita memang sudah berpasrah diri menerima kondisi karena memang Solo dari dulu sudah menjadi langganan banjir, juga karena Solo termasuk daerah rendah. Dan dengan apologis mengatakan : mau bagaimana lagi, kita tidak mungkin menentang alam. Sekedar itukah kita memikirkan? Sesempit itukah kita menyimpulkan?

Saya kira tidak. Bukan alam yang salah, tetapi kita. Sebagaimana kita ketahui bersama, mentalitas orang (baca : pemerintah) Indonesia, terkhusus Solo, selalu tidak mempunyai kebijakan yang komprehensif untuk menyelesaikan sebuah persoalan yang muncul. Policy yang dikeluarkan hampir semua adalah policy instan, parsial, reaksioner dan jangka pendek. Harus kita akui, kita memang masih senang dengan hal-hal yang instan-instan, parsial, reaksioner dan jangka pendek. Asal yang hari ini selesai, biarlah besok ya besok.

Ini jugalah yang terjadi dengan policy kita pada sektor bencana, terkhusus banjir. Pemerintah hanya mengeluarkan kebijakan atau katakanlah "obat kepanikan" jika banjir terjadi, jika tidak ya tidak akan dikeluarkan. Mungkin mereka sedang melaksanakan prinsip penghematan : ya (Kebijakan) dihemat dululah, kan masih banyak prioritas yang lain. apalagi ini (banjir) belum datang. Mungkin begitu istilah mereka.

Baru setelah banjir datang " obat kepanikan" itu dikeluarkan. masih bagus kalau "obat" itu mujarab, "sakitnya" langsung sembuh, ini tidak? Ini terbukti dengan adanya beberapa permasalahan banjir tahun 2008 yang belum selesai sampai saat ini. Ditambah dengan masalah yang baru sekarang ini. Semakin banyak saja permasalahan yang menumpuk, menumpuk, dan menumpuk tanpa bisa terselesaikan. Saya tidak tahu untuk mengatasi banjir kali ini apakah mereka masih akan mempergunakan "obat yang sama"?

Memang kita tidak bisa menyalahkan semua ini hanya kepada pemerintah semata, kita selaku masyarakat pun harus mengevaluasi diri. Terkadang perilaku kita juga mempunyai andil besar dalam "mengundang" datangnya banjir ke lingkungan kita. Tetapi tetap saja menurut saya, tanggung jawab terbesar itu terletak pada pundak pemerintah selaku penanggung jawab pemerintahan dan pelayan masyarakat. Apalagi mereka mempunyai kewenangan untuk membuat dan melaksanakan kebijakan melalui program untuk masyarakat. singkatnya itu pekerjaan mereka, karena untuk itulah mereka "ada".

Kinilah saatnya kita belajar dari kesalahan-kesalahan dimasa lalu, jangan sampai terpeleset di lubang yang sama. Jika hal itu terjadi maka ini menunjukan betapa bodohnya kita. Sudah saatnya bencana banjir mendapatkan prioritas penanganan karena sudah merupakan kejadian tahunan yang terprediksi dengan memberikan kebijakan yang komprehensif, jangka panjang dan antisipatif. Untuk itulah kita berharap kepada pemerintah agar hal ini segera terealisasi. Kalau tidak, banyak yang akan kita korbankan : masyarakat kecil, waktu. tenaga, anggaran, dan lain-lain yang seharusnya tidak perlu menjadi korban.

Kita berdoa bersama, semoga "badai" ini cepat berlalu, dan kondisi kembali normal seperti semula. Tentu saja sekarang ini yang paling diperlukan oleh kita sebagai pribadi adalah terjun langsung membantu korban dengan apa saja yang kita sanggupi. Selamat berjuang!

(KOLEJ BUKIT KACHI-SINTOK-KEDAH-MALAYSIA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar