01 Mei 2009

MENILAI KESUNGGUHAN SIKAP PARTAI GOLKAR

Manuver Partai Golkar yang menarik diri dari pembicaraan koalisi dengan Partai Democrat mementahkan prediksi politik yang sudah tercetus. Manuver yang begitu mendadak sehingga membuat banyak kalangan “surprise”, termasuk saya. Apalagi sebelumnya Golkar sudah memberikan sinyal kuat penggabungan dirinya dengan koalisi Demokrat. Sehingga dengan sinyal yang kuat itu banyak pihak termasuk saya meyakini bahwa masuknya Golkar kedalam barisan koalisi Democrat hanyalah tinggal masalah waktu. Secara teknis hal ini tinggal menunggu deklarasi resmi dari Partai Golkar saja. Tetapi semua itu terpatahkan dengan pernyataan resmi dari DPP Golkar yang menyatakan menghentikan Pembicaraan dengan Demokrat karena Golkar menilai komunikasi politik mereka dengan PD menemui jalan buntu. Hal itu dipertegas dengan hasil Rapimnassus Golkar yang mendeklarasikan JK sebagai Capres dan memberikan mandat penuh kepadanya untuk menjalin komunikasi politik dengan partai lain diluar PD.

Manuver ini jelas membuat konstelasi politik berubah, dan membuat skenario bahwa hanya akan ada dua koalisi besar yang bertarung dalam kontestasi pilpres buyar. Dengan keberadaan Golkar sebagai partikel bebas maka keberjalanan peta politik yang sudah tersusun menjadi cair. Hal ini disebabkan Golkar bisa saja masuk kedalam koalisi PDIP ataupun membuat barisan koalisi sendiri. Apalagi ditambah barisan-barisan koalisi yang diperkirakan kuat akan terbentuk yakni barisan PD dan barisan PDIP sampai saat ini belum firm. Sehingga akan sangat mudah untuk berganti wajah dan tangan didalamnya jika ada dinamika yang mempengaruhinya. Meskipun kita lihat koalisi PD selangkah lebih maju dengan declare-nya PKB dan PKS sebagai bagian koalisi.

Bila kita cermati maka langkah Golkar sekarang lebih condong untuk bergabung dengan koalisi PDIP, Gerindra dan Hanura. Pertemuan dan pembicaraan politik antara JK dengan Mega, JK dengan Wiranto maupun JK dengan Prabowo intensif dilakukan dalam waktu yang sangat cepat. Bahkan akhir-akhir ini mereka sepakat untuk membentuk koalisi besar yang akan terdiri dari PDIP, Golkar, Gerindra, Hanura, PPP dan PAN. Dan untuk merealisasikan hal tersebut Golkar dan PDIP sudah membentuk tim gabungan yang dinamakan tim 6. Tim 6 ini bertugas merancang draf materi-materi yang nanti akan disepakati dalam koalisi besar ini sekaligus merencanakan pertemuan para ketua umum untuk proses finalisasi kesepakatan. Pertemuan demi pertemuan pun lebih intensif dilakukan dalam rangka mencapai kesepakatan. Sebuah langkah politik progresif yang menurut saya menggentarkan secara politis bagi koalisi Demokrat.

Jelas dari langkah ini kita melihat bahwa Golkar memang serius memainkan peran diplomasi politiknya untuk maju dalam kontestasi Pilpres mendatang. Karena sebagai partai besar dan sepuh sekaligus partai pemenang pileg nomor 2, Golkar merupakan kekuatan penting dalam meraih kemenangan kontestasi pilpres nanti sehingga partai lain harus mendekati dan merangkulnya. Posisi ini disadari sepenuhnya oleh Golkar sehingga permainan manuver dan diplomasi politiknya begitu menggigit dan confidential. Seakan ingin menunjukan kepada siapapun bahwa dirinya masih “harimau yang bertaring tajam” sehingga tidak boleh ada yang menganggapnya enteng atau bahkan mempermainkan.

Lepas dari itu semua, kalau di tinjau sebab musabab mengapa secara emosional Golkar sampai melakukan manuver mendadak “keluar” dari pembicaraan politik dengan Demokrat maka akan kita temukan beberapa hal. Diantaranya adalah pertama sikap angkuh Partai Democrat yang merasa bargaining position-nya berada diatas angin karena memenangi Pileg. Hal ini membuat seakan-akan Demokrat tidak membutuhkan partai lain, partai lainlah yang membutuhkan Demokrat sehingga membuat alot dan lamban proses negoisasi politik yang dilakukan dengannya. Salah satunya adalah negoisasi yang lamban tentang berapa jumlah cawapres yang harus diajukan ke Demokrat oleh Golkar. Kedua adanya penolakah halus SBY kepada JK sebagai Cawapres. Hal ini dibaca setelah SBY mengumumkan lima kriteria cawapres yang akan mendampingi dirinya nanti. Lima criteria ini dinilai golkar sebagai bentuk penolakan halus SBY kepada JK. Padahal JK adalah ketua umum partai Golkar sehingga dengan menolak JK, SBY sama saja menolak partai Golkar. Ketiga, menurut saya ini yang paling determinan, adalah pertaruhan marwah atau harga diri Golkar sebagai partai sepuh, besar, berpengalaman dan pemenang pileg nomor dua. Sebagai partai sepuh, besar, berpengalaman dan pemenang pileg nomor dua, tentu saja Golkar akan mendapatkan “malu” jika hanya puas menjadi cawapres partai lain dan tidak mengajukan capres sendiri, padahal PDIP dan Gerindra yang perolehan suaranya di bawah Golkar berani mengajukan capres sendiri. Apalagi jauh sebelum pileg Golkar sudah men-declare JK sebagai capres dengan meluncurkan slogan “ lebih cepat lebih baik”.

Tiga alasan itulah yang terakumulasi dalam alam pikiran Partai Golkar sehingga dengan confident mereka menarik diri dari proses pembicaraan politik dengan Demokrat. Dan secara attractive mendeclare JK sebagai capres dalam rapimnasus dan melakukan manuver dengan PDIP untuk membentuk koalisi besar bersama Gerindra, Hanura, PPP dan PAN. Disamping juga terbuka alternatif untuk membentuk barisan koalisi sendiri dengan Hanura dan beberapa partai gurem seandainya koalisi besar gagal diwujudkan. Terlepas dari adanya surat 25 DPD I yang menyarankan agar kembali bersama koalisi Demokrat.

Memang dari manuver tersebut terkesan kuatnya emosi Partai Golkar untuk men-capreskan JK demi menjaga marwah partai. Justru dari sinilah menurut saya karena terlalu memperturutkan emosinya Golkar kurang memperhitungkan seberapa jauh peluang kemenangannya. Padahal dengan sikap ini maka akan berpotensi mengulang kekalahan mereka serta dengan demikian memberi tambahan kesulitan dalam negoisasi untuk masuk pemerintahan paska kekalahan nanti. Kecuali Golkar siap menjadi partai oposisi, sesuatu yang anusual bagi Golkar karena melawan tradisi Golkar selama ini dan menurut saya hal ini sangat kecil kemungkinannya berani diambil.

Terakhir saya tetap berkeyakinan, dengan melihat berbagai factor termasuk tingkat elektabilitas calon, apresiasi rakyat, dan kekuatan politik figure dan soliditas partai pengusung maka majunya Golkar dengan capres JK-nya dalam kontestasi pilpres mendatang tidak akan mempengaruhi secara signifikan peluang kemenangan koalisi Demokrat dengan SBY sebagai capresnya. Dalam konteks ini maka mau tidak mau koalisi yang lain termasuk Golkar harus mempersiapkan langkah atau jalan keluar dari kekalahannya atau yang sering kita sebut escape plan. Dan menurut saya escape plan yang paling rasional bagi Golkar adalah mendukung dan bergabung dalam koalisi pemerintahan pemenang pilpres sebagaimana pengalaman pemilu 2004 yang lalu.

(JEBRES-SOLO)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar