21 April 2009

(SEDIKIT) MEMAHAMI ANTAGONISME PKS DAN GOLKAR

Wacana koalisi parpol menjelang pilpres semakin mengerucut. Kubu Megawati dan kubu SBY sudah sama-sama menjajagi beberapa parpol yang dianggap sehaluan atau punya kecenderuangan bersatu dengan mereka dalam barisan koalisi. Memang seperti pernah saya tulis sebelumnya (untuk lebih detailnya mohon baca “Membaca Polarisasi Koalisi Parpol menuju kontestasi pilpres), beberapa dinamika yang terjadi memberikan indikasi kuat bahkan hampir dapat dipastikan bahwa koalisi yang akan terbentuk hanyalah dua buah yakni koalisi pimpinan SBY dan koalisi pimpinan Megawati. Rivalitas SBY dan Megawati yang sudah tampak sejak dahulu menjadi penegas sekaligus factor determinan bahwa dua kekuatan politik besar ini dengan kendaraan partai dan koalisi yang dibangunnya akan saling bersaing memperebutkan jabatan RI 1 dan RI 2. SBY dan Megawati menjadi center dua kekuatan politik besar yang akan saling mengalahkan. Ibarat pusaran medan magnet yang menarik benda-benda lain kedalamnya maka SBY dan Megawati menjadi pusatnya yang dengan kuat menyedot parpol lain yang mempunyai pandangan dan kepentingan politik yang relatif sama untuk datang kepadanya dan menyatakan diri menjadi anggota koalisi.

Perkiraan siapa saja yang akan bergabung dalam satu barisan koalisi juga sudah saya sampaikan pada tulisan sebelumnya dan bila kita lihat dengan kacamata matematika politik kalkulasi kekuatanya sangatlah tidak berimbang. Pertarungan kali ini hampir akan seperti Daud melawan Goliath. kekuatan koalisi Mega yang relatif kecil menantang kekuatan koalisi SBY yang hampir Raksasa. Dan hasilnya pun akan dapat dengan mudah diperkirakan yakni kemenangan koalisi SBY. Benarkah?

Tetapi pada tulisan kali ini saya tidak akan membahas lebih lanjut dinamika koalisi SBY dan koalisi Mega yang antagonistik itu. Karena hal itu menurut saya sudah selesai dan seperti kata saya sebelumnya hal itu “hampir dapat dipastikan”. Saya lebih tertarik untuk menyampaikan sedikit pandangan saya terkait dinamika yang terjadi di internal koalisi SBY, yakni terkait akan masuknya Partai Golkar dan “ancaman” PKS untuk menarik dukungan kepada SBY bila Golkar jadi masuk koalisi dengan Jusuf Kalla (JK) sebagai Cawapres yang diusung. Apalagi adanya dinamika itu menyebabkan memanasnya hubungan PKS dan Golkar. Kedua partai ini tampak saling tuding dan tentu saja perang apologi seperti yang kita lihat di media baik cetak atau elektronik. Dalam dinamika ini baik Golkar dan PKS sama-sama menunjukan antogonisme satu sama lain.sebuah antagonisme yang sebelumnya juga telah terjadi. Bagaimanakah elaborasinya?

Yang pasti antagonisme maupun protagonisme dalam politik adalah hal yang wajar dan pasti terjadi. Karena yang bertarung dan dipertaruhkan adalah kepentingan. Sebuah parpol diidentifikasi atau mengidentifikasi parpol lain sebagai lawan atau kawan itu berdasarkan kepentingannya. Ini adalah rumus yang baku mengingat ‘dalam politik tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”, juga “ politic is the art of possibility”, tidak ada yang tidak mungkin dalam politik karena politik adalah seni dari kemungkinan. Semua ruang-ruang kemungkinan terbuka seluas-luasnya dan bisa menjadi kenyataan secara tak terduga dalam waktu yang singkat.

Kembali kepada antagonisme PKS dan Golkar menyikapi koalisi dengan SBY, maka ini juga dikembalikan kepada rumus baku diatas. Dengan melihat rumus itu maka kita dengan mudah melihat bahwa antagonisme ini terjadi akibat adanya conflict of interest diantara keduanya. Dengan adanya Conflict of interest ini, maka golkar dan PKS meskipun memiliki arah koalisi yang sama yakni kepada sby, sudah meng-create posisi yang uncomfort dan menempatkan barrier psikologis untuk dapat duduk bersama ataupun mengkomunikasikan kepentingannya dalam koalisi. Meskipun patut kita perhatikan sampai saat ini golkar belum memutuskan dengan pasti terkait koalisi dengan SBY ini. Lain halnya dengan PKS yang dari komunikasi politik yang telah dilakukan sudah dipastikan bergabung dengan barisan koalisi SBY.

Tetapi dari sinyalemen-sinyalemen kuat yang tertangkap, penggabungan Golkar dengan barisan koalisi SBY menurut saya hanyalah tinggal masalah waktu saja. Artinya dengan kesadaran politiknya pilihan paling realistis yang akan diambil Golkar adalah masuk dalam barisan koalisi SBY. Sehingga dengan begitu hal ini akan semakin memperkuat sentimen antogonistic antara PKS dan Golkar mengingat mereka sedang mempertaruhkan kepentingan besar masing-masing.
Masing-masing harus mengamankan kepentingannya agar goal dengan sekuat tenaga. Kepentingan apakah itu?

Paling tidak ada dua kepentingan pragmatis yang dapat kita baca. Pertama penempatan kursi Cawapres. Kedua bagian dari sharing dalam pemerintahan yakni berapa jumlah kursi menteri yang didapat dan bidang apa saja. Dua kepentingan ini sangat strategis nilainya mengingat banyaknya kewenangan dan fasilitas yang bisa didapat dan dimanfaatkan dari pos ini. Dan tentunya PKS dan Golkar sudah memperhitungkan ini semua sebelum mereka memutuskan bergabung dengan koalisi SBY, koalisi yang secara kalkulatif- realistis peluang kemenangannya paling besar.

S
ecara politis dari dua kepentingan itu dapat kita baca bahwa dengan bergabungnya Golkar kedalam barisan koalisi akan merubah posisi PKS dalam koalisi sekaligus potensial mengurangi jatah sharing dalam pemerintahan yang akan diterimanya. karena kursi cawapres dan beberapa pos menteri strategis seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, atau Menteri ESDM, kemungkinan besar akan jatuh kepada Golkar mengingat perolehan suara golkar jauh lebih banyak dari PKS. Padahal PKS paling tidak menginginkan posisi Cawapres tersebut. Adanya kekhawatiran inilah yang menyebabkan elite PKS mengeluarkan statement akan mempertimbangkan kembali dukungan kepada SBY bila Golkar dengan JK-nya kembali masuk barisan koalisi. Dengan asumsi bila Golkar tidak masuk koalisi maka kursi Cawapres dan sebagian pos menteri strategis akan jatuh kepadanya. Sementara Golkar sendiri dengan perolehan suara nasional nomor dua tentu saja mempunyai self confident yang tinggi bahwa kursi cawapres dan beberapa pos menteri strategis akan diberikan kepadanya. Hal-hal inilah yang secara faktual menjadikan sentimen antagonisme antara kedua partai ini membesar dan menjadi tarikan yang tidak mudah bagi SBY dan Partai Demokrat.

Meskipun perlu kita cermati juga alasan elite PKS ketika mengeluarkan statetement tersebut, yakni terkait perbaikan sistem presidensial dalam hal ini adalah penempatan presiden sebagai single executive yang kewenangannya diatur secara eksplisit dalam UUD 1945. Yakni presiden sebagai pemimpin pemerintahan yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan penuh dalam mengkoordinasi dan mengorganisasikan jalannya pemerintahan sesuai amanat UUD 1945, sedangkan wakil presiden dan menteri adalah pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangan ekskutifnya. Sehingga dengan demikian wakil presiden dan menteri harus tunduk kepada presiden. Hal inilah yang menurut elite PKS selama ini belum terlaksana dalam pemerintahan SBY-JK karena seringkali antara presiden dan wakil presiden terdapat tarik ulur kewenangan dan disharmonisasi dalam menjalankan pemerintahan karena adanya conflict of interest. Bahkan terkesan ada matahari kembar dalam pemerintahan sehingga pemerintahan kurang berjalan secara solid dan efektif. Meskipun dengan tegas golkar telah menampik hal ini.


Tentunya kita mengapresiasi tujuan baik yang disampaikan oleh PKS itu karena perbaikan sistem presidensial kita memang merupakan sebuah kebutuhan demi menciptakan pemerintahan yang solid dan efektif sehingga tujuan pembangunan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bisa tercapai. Terlepas dari itu tetap saja kita melihat aroma kepentingan politik yang mengemuka terkait antagonisme antara PKS dan Golkar ini. Karena pada dasarnya kepentingan fitrah dari partai politik adalah mendapatkan kekuasaan, terlepas apa yang akan diperbuatnya setelah mendapatkan kekuasaan itu.


Adalah lebih baik kiranya apabila antagonisme antara PKS dan Golkar ini dapat dikelola dengan komunikasi politik yang santun dan di jelaskan secara transparan dan obyektif kepada publik oleh masing-masing pihak. Sehingga hal ini tidak menjadi tambahan permasalahan yang membuat publik semakin antipati dengan dunia politik tetapi menjadi salah satu sarana edukasi politik kepada publik yang mampu memberi pencerdasan dan pencerahan politik bahwa politik itu tidak selalu berorientasi kepada kepentingan semata tetapi lebih kepada perbaikan rakyat, bangsa dan negara. Untuk lebih arifnya mari kita serahkan penuntasan masalah ini pada proses politik yang ada, biarlah SBY yang akan menentukan siapa dan dari partai apa yang akan dipinangnya sebagai Cawapres.

(JUMAPOLO-KARANGANYAR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar