04 Februari 2009

ORANG-ORANG DI SEPANJANG JALAN ITU

Melihat orang-orang itu seakan-akan saya tercekat. Tak terasa hati saya menjadi sangat dingin, diam-diam mata ini memerah menahan isak. Tergetar batin saya membayangkan betapa pedihnya kehidupan yang mereka jalani. Kesunyian dan kesepian diusia senja semakin menelanjangi kelemahan mereka. Tanpa seorangpun yang seharusnya berada di sekeliling mereka, menjaga dan merawat mereka, memberinya sedikit kasih, saat ini hadir bersamanya. Saya tidak tahu entah dimana, entah ada ataukah tiada "orang-orang yang bertanggungjawab itu". Yang saya saksikan tak satupun orang-orang itu mendapati kehangatan hidup sebuah keluarga. Sebuah kehidupan yang menurut saya begitu menyiksa.

Mereka terbaring, duduk, berdiri , dan berjalan dengan tatapan mata tanpa harapan. Yang mereka tunggu hanyalah kapan ajal menjelang, menyusuri waktu dengan membawa beban kepedihan sepanjang jalan. Orang-orang itu telah di campakan kepada garis ketidakberdayaan. Sendirian dalam kelemahan menjalani sisa waktunya dengan bertemankan bumi dan langit. Mereka adalah orang-orang tak beruntung yang menjadi tunawisma di usia tua. Bertahan hidup hanya dengan mengharap belas kasih orang, meminta-minta di pinggir jalan. Sungguh saya tak sanggup membayangkan, bagaimana seandainya hal itu terjadi pada diri atau keluarga saya. Saya yakin pasti anda pun juga tidak akan mampu.

Kita pasti sepakat bahwa orang-orang itu tak sepantasnya disana, mereka tak seharusnya menderita dikala tua. Saat ini mereka seharusnya menikmati indahnya hari tua bersama anak dan cucunya, tersenyum cerah memanen buah kasihnya dikala muda. Dan dengan tenang menyongsong kematian apabila dia datang kepadanya.

Lalu, siapakah yang telah sedemikian tega menyia-nyiakan mereka? Siapakah yang telah menjadikan mereka hina dalam ketuaanya? Siapakah yang membiarkan mereka tiada berkasih dan berkeluarga saat kematian menyapa? Adakah itu kita? Mari kita jawab pertanyaan ini bersama-sama dengan penuh kejujuran.

Karena menurut saya, seringkali kita tidak pernah memikirkan orang lain. Kita sibuk dengan diri dan keluarga kita sendiri. Hati nurani dan belas kasih kita tidak lagi sensitif karena di tutupi egoisme, individualisme dan materialisme yang semakin pekat akibat terjangan arus globalisasi dan liberalisasi. Hingga kepedulian kita kepada sesama menjadi tipis dan bahkan hilang sama sekali. Dan hidup hanya untuk diri sendiri, seakan-akan kita hanya hidup sendirian di muka bumi ini.

(COLGIS-UUM-KEDAH-MALAYSIA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar